SITA JAMINAN TERHADAP BARANG MILIK TERGUGAT

1. Dalam sita ini harus ada sangkaan yang beralasan bahwa tergugat sedang berupaya mengalihkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat.

2. Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat.

3. Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat, luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas (Perhatikan SEMA No. 2 Tahun 1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari kesalahan penyataan diwajibkan membawa serta Kepala Desa untuk melihat keadaan tanah, batas serta luas tanah yang akan disita).

4. Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas tanah yang bersertifikat harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional setempat dan alas tanah yang belum bersertifikat harus diberitahukan kepada Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten.

5. Penyitaan harus dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-¬tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya dan buku tersebut adalah terbuka untuk umum.

6. Sejak tanggal pendaftaran sita, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.

7. Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.

8. Penyitaan dilakukan lebih dahulu atas barang bergerak yang cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat, apabila barang bergerak milik tergugat tidak cukup, maka tanah-tanah dan rumah milik tergugat dapat disita.

9. Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya, dan apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.

10. Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang. Pasal 50 Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan “Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap”:

a. uang atau surat berharga milik negara/ daerah, baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;

b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/ daerah.

c. barang bergerak milik negara/ daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pihak ketiga;

d. barang bergerak dan hal kebendaan lainnya milik negara/ daerah;

e. barang milik pihak ketiga yang dilunasi negara/ daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

11. Hakim tidak melakukan Sita jaminan atas saham.

12. Pemblokiran atas saham dilakukan oleh Bapepam atas permintaan Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ada hubungan dengan perkara.

Sumber:
– Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 80-82.

 

SITA JAMINAN TERHADAP BARANG MILIK PENGGUGAT (Revindicatoir Beslag)

1. Sita revindicatoir adalah penyitaan atas barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat (revindicatoir berasal dari kata revindicatoir, yang berarti meminta kembali miliknya).

2. Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugatan atau permohonan tersendiri secara jelas dan terperinci.

3. Apabila gugatan dikabulkan untuk dilunasi, sita revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat.

4. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir.

5. Dalam hal obyek yang disita tidak terletak di wilayah pengadilan yang menangani gugatan tersebut maka penyitaan dilakukan oleh Pengadilan Negeri dimana obyek yang akan disita terletak. Majelis Hakim yang mengeluarkan penetapan sita jaminan wajib memberitahukan hal tersebut kepada ketua pengadilan, agar ketua pengadilan meminta bantuan kepada pengadilan dalam daerah hukum mana obyek yang akan disita itu terletak agar penyitaan tersebut dilaksanakan.

 

Sumber: – Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 82-83.